close

4 Desember 2013

Berita Terkini

Kebijakan Tak Boleh Tinggal Kelas Masih Bingungkan Guru

1404276780x390SURABAYA, KOMPAS.com — Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang tak membolehkan siswa sekolah dasar tinggal kelas bertujuan baik agar siswa bisa berkembang sesuai dengan potensinya. Namun, kebijakan ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai perubahan metode belajar di kalangan guru.

Sejumlah guru juga masih kebingungan dengan kebijakan tersebut. ”Terus bagaimana jika siswa kelas I SD belum bisa membaca dan menulis, apakah harus naik kelas juga?” kata Sutini, Kepala SDN Suwanggaling IV Kota Surabaya, Senin (2/12/2013). Ia dimintai tanggapannya soal kebijakan baru Kemendikbud yang tidak membolehkan siswa SD tinggal kelas. Pemerintah juga menghapus kebijakan ujian nasional di sekolah dasar.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Ramon Mahondas mengatakan, penghapusan siswa tinggal kelas untuk memotivasi siswa meningkatkan potensinya. Karena itu, guru di 150.000 sekolah dasar akan segera diberikan pelatihan.

Murid yang belum memahami pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus mengulang pelajaran yang belum dikuasai. Bentuk penilaian rapor SD juga berubah, tidak lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskriptif untuk menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan. ”Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi narasi,” ujarnya.

Kebijakan ini sebenarnya sudah diterapkan di negara-negara maju. Meski demikian, kebijakan ini menuntut guru memahami secara mendalam karakter dan potensi siswa.

Sulitkan anak

Menurut Sutini, jika anak dipaksakan naik kelas, justru akan menyulitkan anak karena materi pelajarannya lebih sulit. ”Guru yang melakukan evaluasi tentu lebih tahu kondisi setiap anak,” kata Sutini.

Hal yang sama dikatakan Wakil Kepala SD Katolik Santa Maria Kota Surabaya Christina Purtiwi. Menurut dia, naik tidaknya murid adalah otonomi sekolah yang disepakati dalam rapat dewan guru. ”Kami tidak akan paksakan anak naik kelas kalau kemampuannya belum memadai. Kepada orangtuanya pun kami jelaskan,” kata Christina.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SDK Santo Carolus, Surabaya, Florentinus Lusiyanto menyatakan kurang setuju jika sistem tinggal kelas ditiadakan.

”Jadi, apa gunanya mengukur keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua?” kata Florentinus.

Sulit terukur

Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Dimyati juga masih belum memahami kebijakan pemerintah yang tidak membolehkan siswa SD tinggal kelas. ”Prestasi siswa akan sulit terukur,” ujarnya.

Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Wijanarto justru memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, sistem itu mendorong guru untuk lebih intensif memperhatikan siswa. Meski demikian, komposisi guru dan siswa harus dipertimbangkan. Jika menerapkan sistem itu, idealnya guru mengawasi maksimal 20 anak, sedangkan saat ini banyak guru yang mengajar 40 siswa.

read more
Berita Terkini

Rakyat Indonesia Berutang Banyak pada Guru….

1130391IMG-9007780x390JAKARTA, KOMPAS.com – Guru adalah sebuah pekerjaan yang menuntut profesionalisme. Guru adalah sumber inspirasi yang memacu perkembangan muridnya menjadi orang mandiri.

Guru pula sosok yang berada di garis paling untuk membentuk Generasi Emas Indonesia. Pada intinya, seluruh masyarakat Indonesia berutang banyak pada guru.

Demikian diungkapkan Board of Trustee Tanoto Foundation, Anderson Tanoto, terkait digelarnya kegiatan Gerakan Guru Indonesia Kreatif memeriahkan Hari Guru Nasional di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Dilaksanakan pada 25 November 2013 lalu, Tanoto Foundation menggelar acara tersebut dengan beragam kegiatan meliputi lomba mewarnai, lomba cerita rakyat, lomba peta buta, lomba stan terbaik, serta lomba pentas seni dan kreativitas guru dan siswa.

“Guru di Indonesia sangat penting di komponen negeri ini. Tidak hanya 3–5 tahun, tetapi juga seluruh masa depan di Indonesia tergantung pada kualitas guru,” kata Anderson kepadaKompas.com, Senin (2/12/2013).

Anderson menuturkan tentang pentingnya peran guru. Ia percaya, bahwa pendidikan adalah kunci menuju penanggulangan kemiskinan antargenerasi. Untuk itulah, pihaknya menggelar kegiatan ini sebagai salah satu bentuk kontribusi meningkatkan kualitas guru.

Sebagai hasil kerja sama antara Tanoto Foundation dan Asian Agri dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), puncak acara Gerakan Guru Indonesia Kreatif ini adalah pemecahan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) untuk pembuatan alat peraga pembelajaran terbanyak, yaitu sekitar 9.778 alat peraga terbuat dari sedotan oleh 1.569 guru dalam waktu 30 menit. Pemecahan rekor ini telah dilaksanakan Minggu (24/11/2013) lalu, dihadiri oleh Head of Tanoto Foundation Sihol Aritonang, Sekretaris Unit Implementasi Kurikulum Pusat Kemendikbud Efriyanto, dan Kapolda Riau Brigjen Condro Kirono.

Head of Tanoto Foundation Sihol Aritonang mengatakan, Tanoto Foundation telah menyelenggarakan program Pelita Pendidikan di tiga provinsi di Sumatera, yaitu di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara sejak 2010. Program Pelita Pendidikan ini berupa program peningkatan kualitas pendidikan pada sekolah dasar di wilayah pedesaan. Di antaranya adalah program Pelita Sekolah Asri (Aman, Sehat, dan Ramah Lingkungan), Pelita Pustaka Lestari, Pelita Guru Mandiri, Pelita Sekolah Unggulan, 3E (Education, Enhancement, dan Empowerment), dan Forum Pelita. Realisasinya antara lain pembinaan 210 sekolah dasar, renovasi 94 ruang kelas, pembangunan 110 toilet di SD, dan melatih 2.500 guru SD.

Kepala Pengelola Perpustakaan SD Sering Barat, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Nur Hamimah, mengatakan SD Sering Barat merupakan salah satu sekolah dasar yang mendapatkan pelatihan pengelolaan yang ditujukan untuk para guru. Para guru diminta lebih kreatif dalam mendorong minat baca siswa agar mau membaca buku-buku di perpustakaan.

“Kami sangat berterima kasih. Berkat pelatihan kepustakaan dari Tanoto Foundation, perpustakaan kami menjadi lebih ramai. Banyak anak-anak yang membaca di perpustakaan dan mereka menjadi lebih termotivasi untuk membaca di perpustakaan karena kami berusaha menarik minat mereka dengan kegiatan kreatif setelah mendapatkan pelatihan,” ungkap Nur.

Selain itu, Tanoto Foundation memberikan bantuan berupa pengadaan buku-buku perpustakaan yang diputar atau ditukarkan ke sejumlah sekolah setiap tiga bulan sekali.

“Pemerintah daerah memang telah mengalokasikan dana cukup besar untuk pengembangan pendidikan. Tapi, pengembangan pendidikan dan peningkatan kualitas guru ini semestinya memadukan visi antara pemerintah dan swasta agar berjalan lebih baik,” timpal Bupati Pelalawan HM Harris.

read more
Berita Terkini

Tidak Ada Lagi Siswa Tinggal Kelas di SD

1112197-sem-ujian-nasional-780x390JAKARTA, KOMPAS.com — Ujian nasional untuk sekolah dasar, sekolah dasar luar biasa, dan madrasah ibtidaiyah mulai tahun 2014 dihapuskan. Selain itu, mulai tahun depan juga, tidak ada lagi murid sekolah dasar yang tinggal kelas.

Murid yang belum memahami atau menguasai pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus mengulang pelajaran yang belum dikuasainya. Bentuk penilaian rapor sekolah dasar juga berubah, tidak lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskripsi untuk menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan siswa peserta didik.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Ramon Mohandas mengatakan hal itu sebelum Rapat Koordinasi Persiapan Implementasi Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional 2014, Minggu (1/12) malam, di Jakarta. ”Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi narasi,” katanya.

Untuk memperkenalkan sistem yang baru, kata Ramon, telah dilakukan pelatihan untuk guru pendamping yang turun ke lapangan. Mereka telah dijelaskan bentuk rapor, cara penilaian, dan pemberian angka. Pelatihan tahun depan mencakup 150.000 sekolah dasar, lebih besar dibandingkan tahun ini yang hanya mencakup 6.000 sekolah dasar.

Kepala Unit Implementasi Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tjipto Sumadi menambahkan, penilaian narasi dalam rapor harus menggunakan bahasa positif karena usia anak yang masih dalam batasan usia emas. Penilaian narasi juga harus bisa memotivasi anak untuk meningkatkan kemampuannya. ”Selama ini jika anak diberi nilai lima atau nilai merah, justru kurang baik dari sisi psikologis anak,” kata Tjipto.

Siapkan kisi-kisi

Meski ujian akhir diserahkan ke sekolah, kata Ramon, pemerintah tetap membuat kisi-kisi soal yang diserahkan ke sekolah agar ada standar kualitas soal. Kisi-kisi soal itu terdiri dari 25 persen dibuat pemerintah dan 75 persen dari satuan pendidikan yang berkoordinasi dengan kabupaten/kota serta provinsi.

”Keterlibatan pemerintah dalam membuat kisi-kisi soal jangan dianggap sebagai intervensi pemerintah. Semata-mata hanya agar ada standar kualitas soal, memudahkan sekolah sekaligus meningkatkan mutu sekolah secara bertahap,” kata Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Dadang Sudiyarto.

Kisi-kisi soal itu sesuai dengan mata pelajaran yang akan diujikan, yaitu di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah meliputi mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA. Adapun untuk sekolah dasar luar biasa (SDLB), mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia, IPS, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ujian sekolah untuk SD/SDLB/MI/Paket A/Ula akan diselenggarakan serentak pada 19-21 Mei.

Tahun lalu ujian nasional sekolah dasar dan sederajat diikuti 4,25 juta siswa di 148.361 sekolah.

Ujian nasional

Ujian nasional untuk SMP dan SMA sederajat masih akan tetap diselenggarakan. Sekretaris Jenderal Kemdikbud Ainun Na’im menjelaskan, ujian nasional tahun depan untuk SMA/MA/SMK sederajat, termasuk Paket C dan Paket C Kejuruan, dilaksanakan 14-16 April 2014. Sementara itu, UN susulan SMA/SMK sederajat pada 22, 23, dan 24 April 2014.

Adapun ujian nasional untuk SMP/MTs/sederajat termasuk SMPLN/Paket B/Usto (sekolah tingkat SMP nonformal di Kemenag) akan diselenggarakan pada 5-8 Mei. Sementara itu, UN susulan bagi SMP sederajat akan diselenggarakan pada 12, 13, 14, dan 16 Mei 2014. ”Nilai kelulusannya tetap minimal 5,5,” kata Ainun Na’im.

Ahli evaluasi pendidikan Elin Driana mengatakan, ujian nasional untuk semua jenjang pendidikan idealnya dihapus. Kalaupun sekarang masih diselenggarakan ujian nasional untuk SMP dan SMA sederajat, mestinya komposisi kelulusan berdasarkan rapor lebih besar daripada nilai UN. Saat ini untuk kelulusan siswa, komposisi nilai rapor 40 persen, sedangkan ujian nasional 60 persen.

”Sebab, nilai rapor lebih menggambarkan kondisi murid yang sesungguhnya. Guru juga lebih mengetahui kondisi dan kemampuan siswa sehari-hari,” kata Elin. (LUK)

read more