close

ADAKAH kenangan yang tidak tidak bisa dilupakan? Kenangan yang mengais sebuah masa. Melingkar-lingkar seperti gasing, lalu meninabobokan hingga lena?

***

Nenek berkisah, bahwa selendang merah jambu itu menyimpan kenangan yang tak terlupakan baginya. Kenangan yang membuat nenek mencintai selendang itu melebihi cintanya kepada almarhum kakek. Dengan setia nenek terus merawat selendangnya. Merawat selendang itu bagi nenek seperti mengekalkan rasa cintanya pada seseorang. Dan aku berpikir, betapa menderitanya almarhum kakek sejak dulu karena itu, sebab  lelaki yang dicintai nenek bukanlah kakek. Ibu tahu betul tentang itu. Ibu dulu juga pernah berujar, bahwa kakek adalah lelaki yang sangat mencintai nenek. Meski kakek tahu, nenek menyimpan kenangan pada laki-laki lain.

Berulang kali ibu pernah menyarankan pada nenek untuk melupakan selendang merah jambu itu. Ibu juga pernah mengatakan pada nenek betapa menderitanya kakek karena setiap hari dirajam api cemburu hingga di akhir hayatnya. Tapi sampai sekarang nenek seperti tidak mau peduli. Nenek masih saja merawat selendang itu.

Kini setelah kepergian kakek, setiap sore nenek duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar pada hamparan sawah yang kini hanya tinggal dua petak. Dari jendela itu, nenek seperti berharap seseorang yang entah siapa akan datang padanya. Ibu mulai cemas melihat kebiasaan nenek itu. Ibu takut suatu saat nenek menjadi tidak waras. Aku pun mencemaskan nenek.

Tapi suatu senja, di tingkap jendela, nenek mengajakku untuk duduk bersamanya. Nenek mengatakan supaya aku mau mendengar sebuah kenangan. Juga tentang sebuah masa, di mana ketika itu nenek masih menjelma sosok yang jelita.

Nenek mengatakan pertama kali dia melihatnya saat hujan turun. Kala itu dia sedang beristirahat di pondok depan rumah ini bersama beberapa serdadu lainya setelah menggeledah kampung mencari orang-orang rimba. Di tingkap jendela ini, persis di sini, kata nenek, dia melihat ada raut kelelahan di wajahnya. Mungkin  dia dan teman-temannya merasa kecewa karena tidak menemukan buruannya.

Nenek juga menggambarkan saat itu orang itu telah menjelma bagai sosok pangeran yang datang entah dari kota mana. Sungguh, saat itu nenek terpesona. Nenek tiba-tiba saja telah jatuh hati padanya. Nenek tidak tahu mengapa bisa begitu.

“Mengapa nenek begitu gampang jatuh hati padanya. Apakah dia sangat gagah?” Tanyaku seperti kurang percaya ketika itu.

“Ya, dia memang gagah. Bahkan teramat gagah. Nenek terpesona,” jawab nenek pula. Aku tersenyum mendengar jawaban nenek yang polos itu.

Dari jendela, kata nenek, ia terus memperhatikannya. Memperhatikan sambil berharap dia melihat dan berjalan ke arah nenek, lalu mengajak nenek berbicara. Tapi ternyata tidak. Nenek tidak pernah berkenalan dengannya saat itu. Dia tidak  pernah melihat ke arah nenek. Nenek kecewa.

Ketika laki-laki itu dan serdadu lainnya pergi setelah hujan reda, nenek seperti kehilangannya. Entah mengapa. Padahal nenek tidak mengenalnya.

Nenek mengatakan saat itu kampung kami masih berupa sawah-sawah yang membentang. Hutan-hutan kecil masih mengepung kampung. Semak-semak masih melingkari rumah kami. Hidup saat itu kata nenek sangat sulit. Apalagi  perang tengah berlangsung. Orang-orang kampung sangat ketakutan ketika serdadu dari kota mencari orang rimba untuk ditangkap.

Nenek bertemu lagi dengannya dua hari setelah kejadian itu. Nenek menemukannya ketika dia duduk di depan pos ronda kampung. Saat itu dia sendiri. Dia masih berpakaian tentara. Nenek mengaku sangat terkejut pada pertemuannya itu, sebab dia tersenyum dan menatap nenek. Nenek tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Apalagi ketika dia mendekat ke arah nenek. Tubuh nenek seperti dialiri sesuatu. Sesautu yang menyebabkan nenek gemetar.

Dia lalu mengajak nenek  singgah di pos ronda itu. Nenek menyanggupinya. Padahal kala itu nenek harus segera ke sawah menyusul ibunya untuk mengantar  makanan. Nenek telah terbius olehnya. Mungkin habis waktu satu jam lebih mereka berbicara menanyakan berbagai ihwal. Jika saja buyutku kala itu tidak segera muncul di pos ronda itu, mungkin nenek tidak akan pernah beranjak. Dengan perasaan agak rendah diri, nenek dibawa pulang oleh buyutku.

Sesampai di rumah nenek dimarahi. Nenek dicaci karena telah membiarkan buyutku kelaparan di sawah. Dan yang terpenting, nenek disebut-sebut sebagai gadis yang lancang, sebab berdua-dua dengan lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi dia itu seorang serdadu dari kota yang telah membuat orang kampung ketakutan, sebab dia pemburu orang rimba.

“Buat apa kau bicara denganya. Apa kata orang nanti. Bisa-bisa saya dituding berpihak pada serdadu kota. Pokoknya, kau jangan dekat denganya. Kau benar-benar keterlaluan, demi dia, kau biarkan bapak kelaparan. Tega sekali kau. Kau tahu, tanpa rasa bersalah, dia dan kawan-kawannya telah menembak Bujang Sabirin di sudut kampung. Padahal dia bukan pemberontak. Kau mau bapakmu ini dituduh bersekutu dengan tentara kota itu, hah?” umpat buyutku.

Nenek terdiam.

Sejak itu nenek diawasi. Nenek tidak boleh keluar rumah. Jika ketahuan, nenek langsung dimarahi. Nenek seperti gadis yang dipingit untuk dinikahkan. Tapi nenek tidak tahan juga. Suatu hari nenek ke luar rumah mencari laki-laki itu. Nenek menemuinya di pos ronda kampung.

“Berhari-hari aku telah menunggu kau lewat,” katanya pada nenek.

“Sampai begitu?” Tanya nenek seperti tidak percaya.

“Ya, kau tidak percaya?”

Nenek tersipu malu.

“Kalau begitu, maafkan aku.”

“Tidak apa-apa.”

Saat itu nenek menghabiskan sore dengannya di pos ronda kampung yang telah berubah fungsi menjadi markas tentara kota. Akhirnya nenek juga tahu, bahwa dia bukan prajurit biasa, tapi seorang komandan di garis depan.

Beberapa kali nenek terus mencuri waktu dengannya tanpa sepengetahuan buyutku, tapi orang sekampung tahu. Mereka memberitahukannya pada buyutku. Nenek kembali dicaci. Kali ini nenek diawasi lebih ketat. Kembali berhari-hari nenek  seperti merasa dipingit.

Sampai suatu hari, laki-laki dan pasukanya datang dan menggeledah isi rumah. Dia dan pasukannya datang menangkap buyutku karena dituduhnya pemberontak. Nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya. Nenek memarahinya. Tapi nenek terus diyakininya.

“Iya, berdasarkan laporan, bapakmu terlibat sebagai pemberontak. Aku hanya menjalankan tugas. Kuharap kau mengerti,” katanya pada nenek.

Dia juga meyakinkan nenek, bahwa ini tidak ada hubungannya dengan rasa kecewanya kepada buyutku karena tidak direstui untuk mendekati nenek. Untuk meyakinkan rasa sukanya pada nenek, dia lalu memberikan sebuah selendang merah jambu. Dia juga mengatakan tidak akan patah semangat karena tidak direstui. Suatu hari dia berjanji  akan membawa nenek ke kota. Sejak itu nenek semakin tergila-gila padanya. Ya, semenjak selendang itu diberikannya kepada nenek.

Apalagi sejak pengeledahan itu buyutku tidak pernah pulang. Kata nenek, buyutku memang ternyata seorang pemberontak. Orang rimba. Aku membayangkan tentu buyutku juga seorang laki-laki yang gagah.

“Lalu, setelah itu, bagaimana ceritanya, Nek?” Tanyaku. Nenek termenung, “Sayang, tanah itu kini hanya tinggal dua petak,” kata nenek. “Padahal di tanah itu dulu banyak sekali kenangan yang membentang.”

“Itulah Nek, orang kampung selalu tergoda untuk menjual tanah demi segepok uang,” kataku.

“Tapi, tidak apa juga.”

“Tidak apa? Kenapa Nek?” Tanyaku agak heran.

 Sejenak  nenek menatapku.

“Kau tidak tahu, dibangunnya rumah-rumah itu juga telah mengubur sebuah kenagan pahit.”

“Maksud nenek?”

“Nanti kau akan tahu,” jawab nenek. Dan setelah dua minggu buyutku tidak pulang, kata nenek, akhirnya buyutku datang pada suatu malam. Nenek ingat bapaknya datang dengan pakaian yang lusuh dan tubuh yang lebih kurus. Buyutku lalu menyuruh nenek duduk di depannya bersama buyut perempuanku. Katanya dia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting. Dan dia tidak punya waktu yang cukup lama untuk menjelaskannya.

“Mungkin kalian tidak tahu, bahwa aku, pimpinan pemberontak di kampung ini. Aku adalah orang yang sangat dicari. Dicari tentu saja oleh, siapa nama teman kau dulu itu?” tanya buyutku pada nenek.

“Siapa, pak?”

“Itu, tentara yang berkenalan denganmu itu? Siapa namanya?”

“Waluyo.”

“Ya, Letnan Waluyo, dan pasukannya itu.”

“Aku telah punya kesepakatan dengan anak buahku di atas gunung sana,” kata buyutku sambil menunjuk ke arah gunung.

“Kesepakatan apa?” Tanya buyut perempuanku.

“Kesepakatan, bahwa siapa saja yang berhasil menembak Letnan itu, dia akan dinikahkan dengan, kau Nurjanah.”

Mendengar itu nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya atas perjodohan itu. “Kenapa Bapak begitu?” Tanya nenek terisak. “Ini demi perjuangan. Kau harus mau. Orang  mengorbankan nyawanya demi pemberontakan ini. Aku harap kau ikhlas,” jawab buyutku.

Nenek lalu berlari ke arah pintu. menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Nenek menangis sejadi-jadinya, tapi katanya buyutku tidak peduli sampai akhirnya dia kembali ke atas gunung.

“Kalau begitu, aku sudah dapat menebak isi ceritanya, nek,” kataku.

“Ya, mungkin saja,” jawab nenek.

“Jadi, Letnan Waloyu itu tewas kena tembak?” Nenek mengangguk.

“Dia tertembak pada suatu petang. Itu, di tanah yang kini dibangun rumah-rumah itu. Dia tertembak setelah berkunjung ke rumah ini. Mengunjungi nenek.”

“Dan, tentu yang menembak itu adalah kakek, bukan?” Tanyaku penasaran.

Nenek tidak langsung menjawab, pandangan dilepaskannya ke luar. “Ya, dia yang menembaknya. Setelah perang usai, nenek dinikahkan oleh buyutmu. Nenek pasrah.”

“Jadi, itu sebabnya nenek tidak pernah mencintai kakek?” Nenek tidak menjawab langsung. Nenek diam. Aku melihat nenek masih seperti memikirkannya. Ya, memikirkan Letnan Waluyo itu. Dan entah sampai kapan nenek akan seperti itu. Duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar, seperti berharap seseorang akan datang padanya. Ya, kenangan telah melingkar-lingkar seperti gasing di kepala nenek. Meninabobokannya hingga lena. Ternyata ada kenangan yang tidak bisa dilupakan. Ya, sejak berpuluh-puluh tahun silam.

*  Farizal Sikumbang, cerpenis dan guru di SMA 2 Seulimeum.(SerambiIndonesia)